Kamis, 27 Oktober 2011

Refleksi Untuk Mahasiswa Baru

Berbicara tentang mahasiswa baru kemungkinan besar akan mengarah ke pembicaraan mengenai remaja yang baru lulus dari bangku sekolah menengah atas. Sedikit “culun”—kecuali yang sedikit gaul—buta dengan dunia kampus, dunia yang tidak dijadwal masuk jam tujuh pagi pulang jam dua siang.
Mulai suka untuk mencari jati diri dan senang menanyakan who am I? punya pandangan baru untuk berpenampilan lebih keren karena tidak lagi memakai seragam putih abu-abu, berpakaian preman dan bebas memilih baju yang terbaik untuk disandang ke kampus. Persoalannya adalah apa memang demikian gambaran yang akan dituju oleh sahabat-sahabati mahasiswa baru?
Dunia kampus menjadi lingkungan baru (new social environment) bagi mahasiswa baru. Dunia ini—jika ditelaah lebih jauh—tidak jauh berbeda dengan dunia masa SMA. Hanya berbeda pakaian, pergaulan: tidak semua mahasiswa kenal dengan mahasiswa lainnya dalam satu kampus, rasa individualistik tinggi dan tidak sekomunal waktu SMA,3 kemandirian: dulu masih hidup serumah dengan orang tua sekarang harus mengurusi mandi, makan, kuliah dan pacarnya sendiri—tentunya bagi yang punya pacar, serta manajemen waktu yang berbeda: dulu aktif masuk jam tujuh hingga jam dua siang, sekarang tidak teratur. Jadwal kuliah disesuaikan dengan waktu dosen dan tenaga pengajar yang ada.
Mahasiswa baru mempunyai hak prerogatif untuk menentukan jalan hidupnya. Dia berhak memilih pergaulan sesuai dengan kemampuan dan kehendaknya. Tidak ada yang bisa memaksakan kehendak pada dirinya, kecuali orang tua yang membiayai kuliahnya. Mahasiswa baru seakan menjadi raja sesaat untuk kemerdekaan hidup dan kegiatannya, menjadi pangeran untuk cerita cinta dan kemesraannya, menjadi presiden untuk mengelola keuangan dan pengeluarannya sendiri.
Gambaran itu layaknya hanya ditempatkan dalam angan dan otak yang terkungkung pada ruang 3x3 meter (kamar kos). Kehidupan luaran lebih keras dari pada kisah yang mungkin pernah didengar oleh mahasiswa baru sebelum menginjakkan kakinya di dunia kampus.
Dinamika kampus bersifat heterogen. Bermacam-macam wajah yang akan ditemui oleh mahasiswa baru, mulai dari wajah sinis hingga sumringah tidak karuan. Bermacam-macam tipe yang akan dijumpai, dari yang aktifitasnya 3K (kos-kampus-kantin) hingga yang berhari-hari tidur dan menulis tugas kuliah di kampus. Bermacam-macam bendera akan dilihat, organisasi berbendera religius (organisasi mahasiswa keagamaan) hingga yang nasionalis (kelompok mahasiswa intra pemerintahan kampus/ student government). Serta dari yang suka dugem, clubbing dan hura-hura hingga yang suka menyendiri menghitung bintang jatuh dan menunggu petuah dari mbah bolong.
Mahasiswa baru yang masuk kedalam lingkaran heterogenitas ini kadang sedikit melupakan jati diri sebenarnya, bahwa ada tugas lain yang diemban di atas pundak mereka. Kalau boleh dipikir kembali berapa jumlah rakyat miskin yang tidak bisa makan 3x dalam sehari? Lebih dari seratus kali hitungan jari jumlah bayi yang menderita busung lapar akibat gizi buruk? Nominal yang makin membengkak dalam angka bagi anak-anak usia sekolah yang putus sekolah dan harus nge­-time di perempatan lampu merah. Angka korupsi dan kejahatan peradilan yang meningkat statistikanya.
Kehidupan ekonomi politik yang dimonopoli oleh kaum cukong. Predikat mahasiswa lumrahnya digunakan untuk mencegah dan mengurangi fakta-fakta di atas.
Tahun 1928 era adalah start bagi babak perjuangan mahasiswa. Mahasiswa sudah kembali mengenal sensitifitas sosial. Bukan bentuk perjuangan kedaerahan yang dimungkinkan untuk merebut kemerdekaan tetapi persatuan nasional. Mereka tidak tahan dengan penderitaan akibat penjajahan yang dialami oleh rakytanya, bersatulah mereka merebut kemerdekaan itu. Tahun 1963-65 di Jakarta, mahasiswa bergemuruh untuk mengganti tatanan pemerintahan yang disangka korup.4 Tahun 1998, mahasiswa berhasil menduduki gedung wakil rakyat dan menyuarakan pembebasan dari rezim otoriter selama lebih dari 32 tahun berkuasa (orde baru).
Mahasiswa berhasil mencetuskan orde reformasi yang tujuan aslinya adalah untuk memberikan kemerdekaan sepenuhnya dari korupsi (ekonomi politik), kesetaraan (sosial budaya hukum), keamanan (militerisme) serta kelayakan (pendidikan dan kesehatan). Tugas yang dirajut oleh mahasiswa era 28, 63-65 dan 98 harus dilanjutkan oleh mahasiswa era sekarang. Walau dengan bentuk lain.
Tidak harus pendudukan di gedung DPR tetapi dengan cara mahasiswa meningkatkan keilmuan, intelektual yang didasarkan pada kondisi kontekstual. Maksudnya, hanya hal bohong jika mahasiswa yang pintar dan cerdas tetapi buta dengan kondisi masyarakatnya. Masih terdiam membisu saat rakyat yang tidak diganti untung lahannya akibat luapan lumpur panas. Masih bengong saat pemerintah berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dan telpon, padahal pemerintah menggunakan metode penghitungan opportunity cost bukan real cash money cost.5 Masih molor saat korupsi menggurita di lembaga pemerintahan dan lembaga peradilan, hingga menelurkan penjahat berkerah putih dan mafia peradilan baru.
Era reformasi yang sewindu lalu didengungkan menjadi tolakan bagi mahasiswa untuk bisa mengaplikasikan dirinya bagi—setidaknya—tatanan keseimbangan di sekelilingnya. Pasalnya mahasiswa bukan lagi seorang siswa karena derajat mahsisawa lebih tinggi dari siswa (maha: paling_). Tugas mahasiswa lebih berat ketimbang siswa. Mahasiswa diberi tanggung jawab untuk menjadi agent of change.
Kesadaran sosialnya harus dipupuk se-sensitif mungkin. Tidak hanya masuk kuliah tetapi tidak mendapatkan apa-apa atau tidak bisa memberikan perubahan yang lebih baik bagi masyarakat. Berat memang tugas mahasiswa. tapi itulah keasyikan dari menjadi mahasiswa. dan akhirnya bravo mahasiswa baru.
**********

Tidak ada komentar:

Posting Komentar