Sabtu, 29 Oktober 2011

Nilai dasar pergerakan perempuan, telaah atas teori feminisme.

Menjelang tahun 2000 kiprah perempuan di Indonesia semakin mencuat memainkan peran penting di segala sektor kehidupan. Dalam artian, mereka melakukan aktivitas bukan sekedar untuk mengisi waktu sengang melainkan karena kesadaran akan jati dirinya.
Kesadaran akan eksistensi dirinya membuat perempuan harus mengenali kebutuhan dasar, peran, hak-hak dan tanggung jawabnya yang selama ini banyak dikatakan berada di balik bayang-bayang kaum Adam. Kini sistem sosial mulai menempatkan perempuan pada posisi yang sangat sentral dalam merumuskan tatanan kehidupan yang berkeadilan dan humanis.
Sejak seribu tahun lalu wacana tentang sistem kehidupan sosial kemasyarakatan memandang sistem kehidupan keluarga sebagai suatu cabang ilmu yang independent sehingga tidak begitu mendapat perhatian yang cukup jelas bahkan terlampau diskriminasi.

Di dunia Barat, sesudah abad ketujuh belas, timbul gerakan di bidang kemasyarakatan bersama terjadinya gelombang pasang perkembangan ilmu pengetahuan dan falsafah. Gerakan ini memperoleh gelar “ Gerakan Hak-hak asasi Manusia”. Para penulis dan pemikir pada saat itu menyiarkan ide-ide tentang hak-hak asasi manusia yang alami, instrinsik dan tidak dapat disangkal. Umat manusia pada umunya sangat berhutang budi kepada mereka.
Gerakan intelektual dan sosial ini lalu membuahkan hasil, mula-mula di Inggris kemudian Amerika dan sesudah itu di Prancis melalui revolusi-revolusi, perubahan-perubahan bentuk pemerintahan. Sampai abad kesembilan belas dan pertengahan abad kedua puluh, apapun yang disebut dengan hak asasi manusia dan langkah-langkah penerapannya, selalu berhubungan dengan hak-hak rakyat terhadap pemerintah, atau hak-hak pekerja terhadap pemilik modal. Tetapi pada abad kedua puluh, pertanyaan tentang hak-hak perempuan muncul. Sehingga melahirkan “ Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” pada tahun 1948 oleh PBB yang didalamnya menyinggung persamaan hak perempuan dan lelaki dengan tegas.
Keseluruhan gerakan intelektual tersebut mengangkat tema sentral atau gagasan utama yang berkisar pada persoalan kebebasan dan persamaan. Para pelopor gerakan ini memandang kebebasan perempuan dan persamaan hak-hak mereka dengan kaum Adam sebagai penyempurnaan dan pencapaian tujuan gerakan hak asasi manusia yang merupakan ide sentral sejak abad ketujuh belas. Mereka mengklaim bahwa tanpa memperoleh jaminan kebebasan perempuan dan penegakkan hak-hak yang sama bagi perempuan dan lelaki, maka dapat dikatakan telah memasung hak-hak asasi manusia.
Gerakan tersebut kini lebih tersentral dan fokus pada kaum perempuan itu sendiri, gerakan ini sering dikenal sebagai gerakan feminisme. Disinilah terjadi hambatan yang serius dihadapi oleh kaum perempuan itu sendiri, karena secara tidak sengaja melakukan perjuangan tanpa memiliki bala bantuan yang besar dan ditinggalkan oleh kaum Adam disisi lain. Alih-alih menghasilkan sebuah pencerahan kepada peradaban, gerakan ini justru membuat persoalan kemanusiaan yang baru. Walaupun harus diakui, sejarah mencatat bahwa gerakan ini berhasil mencetuskan beberapa perubahan mendasar pada masyarakat Barat yang dulunya menganggap hak-hak perempuan itu tidak ada bahkan perempuan sempat pernah dianggap bukan manusia, perempuan saat itu tidak mempunyai kemampuan hidup secara independent dan bebas sehingga harus hidup dibawah tawanan lelaki.
Gerakan ini secara sederhana bisa kita bagi dalam 3 gelombang atau fase perkembangan, yakni :
1. fase pertama, fase ini adalah fase tercetuskannya ide akan pemahaman struktur social yang berangkat dari sudut pandang perempuan. Fase ini disinyalir berkisar pada periode 500-1000 tahun yang lalu. Bahkan secara keorganisasian dan gerakan politik ada yang telah berumur ± 150 tahun. Pada fase ini menghasilkan pengakuan terhadap hak memilih oleh kaum perempuan di Amerika tahun 1920.
2. fase kedua, adalah setelah stagnan dari pergerakan pertamanya selama lebih dari 30 tahun tepatnya pada periode 1960-an. Fase ini lahir dikarenakan adanya faktor eksternal sebagai pendorongnya, diantaranya adalah (1.) gelombang pasang ilmu pengetahuan dan filsafat menuntut pemikiran kritis sebagai simbol periode ini. (2.) Adanya sikap radikal yang ditunjukkan oleh kaum pria. (3.) Pengalaman perempuan dalam menghadapi prasangka dan diskriminasi.
3. fase ketiga, pada fase ini gerakan keperempuan menghadapi penolakan dari kalangan perempuan itu sendiri. Sebagian perempuan Barat telah merasakan dampak yang sangat negative yang lahir dari perjuangan sebagian perempuan lainnya. Gerakan anti-feminisme sebagai lawan dari gerakan feminisme modern menginginkan dikembalikannya posisi perempuan dengan hak dan tanggung jawabnya yang asasi. Hal ini dikarenakan mereka mengalami eksploitasi dalam dunia kerja, dimana mereka harus bekerja seperti kaum lelaki bekerja.
Teori feminisme modern bertolak belakang dari pertanyaan sederhana : “ Dan bagaimana dengan perempuan?” selanjutnya pertanyaan tersebut memunculkan pertanyaan “ Mengapa itu terjadi?” dan melahirkan pertanyaan lain yakni “ Apa yang harus kita lakukan untuk mengubah keadaan tersebut?”. Jargon yang digunakan pun sangat provokatif “ perempuan tanpa lelaki bagaikan ikan tanpa sepeda ”. Dari situlah Persoalan hakiki dari gerakan feminisme adalah adanya bias definisi “keperempuanan” perempuan dan “kelelakian” perempuan. Kesembronoan ini, dalam kenyataannya tidak dapat semata-mata karena kekurangan sifat hati-hati. Ada faktor lain yang bekerja, yang hendak memanfaatkan gerakan feminisme ini. Salah satunya adalah aspirasi pemilik modal yang menganggap perempuan dengan mengatasnamakan kebebasan dan persamaan mampu dijadikan modal produksi.
Mengutip pendapat Will Durant dalam bukunya The Pleasures of Philosophy seperti yang termaktub dalam The rights of woman in Islam karya Muthahari : “ Sampai sekitar tahun 1900 kaum perempuan hampir tidak mempunyai suatu hak apa pun yang harus dihormati kaum lelaki secara hokum. Emansipasi perempuan adalah sebuah insiden dari revolusi industri. Mereka adalah tenaga kerja murah dari kaum lelaki, para pemodal lebih menyukai mereka sebagai pekerja ketimbang kaum lelaki yang lebih mahal dan suka memberontak…. Mulai tahun itu hingga saat ini sedotan yang tak terlawan dari motivasi keuntungan telah menarik kaum perempuan dari pekerjaan rumahnya yang membosankan ke dalam pembudakan kepada pabrik.”
Perlakuan tersebut tidak hanya terjadi pada sektor ekonomi namun juga merambah dunia politik ataupun yang lainnya. Konsekuensi logis yang harus diterima dari gagasan tentang kebebasan dan persamaan. Wajarlah apabila seorang lelaki datang dan berujar kepada perempuan : “ Sekarang anda dan saya sama. Semua tugas, kewajiban, keuntungan, imbalan, dan hukuman akan sama. Jangan mengharapkan sesuatu respek khusus dan dukungan dari saya, belalah diri anda sendiri terhadap segala bahaya dan bencana.” Sebuah hasil yang berarti menodong si perempuan untuk mengeksploitasi dirinya, bahkan keluar dari nilai substantial keperempuanannya.
Oleh karena itu, apa yang sedang kita klaim sebagai sistem hak-hak bagi perempuan dalam rumah tangga maupun di masyarakat, harus dipelajari ulang. Dan bahwa kita tidak boleh merasa puas dengan rumusan di masa silam. Itulah yang menjadi tugas bagi kaum perempuan masa kini yang tengah berada dalam penjara modernitas dan globalisai kapitalis yang menjanjikan sebuah surga dunia yang semu.
Indonesia memiliki contoh panutan yang jelas dalam refleksi dunia kperempuanan. Dialah Kartini, yang dikungkung oleh adat dan dituntut oleh barat, telah meretas jalan menuju pencerahan. Pada masa awal pendidikan khususnya (pendidkan formal Kartini hanya sampai sekolah rendah namun kemudian Beliau didik langsung oleh beberapa tokoh barat) sebagai keluarga ningrat, Kartini mendobrak kondisi “rumit” adat sopan-santun orang Jawa.
Korenpodensinya dengan tokoh barat seperti E.E. Abendanon (istri politikus etis Hindia-Belandan J.H. Abendanon), Dr. Andriani (seorang ahli bahasa), Annie Glasser (orang Prancis yang ditugaskan Abendanon untuk mengawasi Jepara), Ir. Van Kol (seorang tokoh Sosialis, wakil ketua partai sosialis Belanda), Nellie Van Kol (istri Van Kol, penulis humanis progresif) dan terakhir Stella (anggota gerakan militant Feminism Belanda), membuat Kartini muda sempat berpikir bahwa Timur itu rendah dan Barat itu mulia. Kartini pada saat itu juga sangat berang terhadap kondisi keagamaan di lingkungannya.
Kartini perlahan tapi pasti mengenali wajah pemikiran Barat yang dilancarkan oleh rekan-rekan korespodensinya. Sikapnya berubah dari kekaguman menjadi kritikan pedas kepada dunia Barat. Dalam sebuah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini menuliskan “ sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”.
Namun entah mengapa sosok Kartini yang selalu diperingati setiap tahunnya, kini mulai tidak lagi dikenal perjuangannya (yang dingat hanya slogan salah tafsir, Habis gelap terbitlah terang. Yang seharusnya adalah Dari kegelapan menuju cahaya) . Malahan hari Kartini dijadikan momentum bagi persepsi salah tentang keperempuanan.
Seperti Kartini yang menyejarah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, seperti itu pula harusnya kalian bergerak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar